KEKUASAAN POLITIK PENCENGKRAM EKONOMI RAKYAT

Di sadari atau tidak kekuasaan politik sepenuhnya telah menjangkiti penyelenggaraan pemerintahan dari awal proses pembentukkan kenegaraan. Kekuasaan politik yang terus saja mencengkram masyarakat seakan menjadi suatu proyek besar bagi para “penguasa” dalam menggarap “sawah yang telah ditanami oleh kaum petani” yang notabene merupakan masyarakat pribumi. Ini merupakan suatu dilema berkepanjangan yang dapat terjadi kapan pun dan dimana pun, dan ironisnya ini terjadi di negara kita tercinta ini, yaitu Indonesia.

Salah satu bidang kehidupan rakyat Indonesia yang setidaknya telah dicengkram oleh kekuasaan politik adalah bidang perekonomian. Implikasi dari kurangnya kesejahteraan bangsa Indonesia dalam bidang perekonomian adalah menjamurnya kemiskinan di ranah pertiwi dan tragedi ini seakan menjadi pemandangan biasa yang terjadi di kalangan masyarakat, mengutip pernyataan yang bersumber dari UNICEF dan disiarkan oleh harian Kompas (28 Maret 2008). Di sana dijelaskan bahwa 69 juta orang di Indonesia tidak memiliki akses terhadap sanitasi dasar dan 55 juta orang di Indonesia tidak memiliki akses terhadap sumber air yang aman. Menurut sumber tersebut, keadaan yang demikian ini menyebabkan setiap tahun 100.000 anak berusia dibawah 3 tahun di Indonesia meninggal karena penyakit diare. Ditambahkan juga bahwa setiap harinya ada sekitar 5.000 anak dibawah umur 5 tahun yang meninggal karena diare itu.

Hal di atas patut di renungkan dan dipikirkan apakah kemiskinan ini sinergis dengan potensi yang dimiliki oleh negara Indonesia sebagai negara yang subur dan kaya akan sumber daya alam? Padahal kalau kita mau berpikir sejenak, dengan kekayaan yang dimiliki oleh negara Indonesia ini, rakyat Indonesia akan hidup sejahtera baik dalam segi perekonomian maupun dari segi pendidikan. Lantas Kemanakah hasil penggalian potensi Sumber daya alam Indonesia yang telah digali oleh stakeholder pemerintahan. Apakah Negara yang memang bertanggung jawab atas keadaan ini. Tapi Apakah kemiskinan ini juga akibat mayoritas masyarakat Indonesia sendiri yang memang berpendidikan rendah sehingga lapangan pekerjaan pun menjadi sulit untuk di dapatkan dan implikasinya tenaga kerja Indonesia menjadi semakin murah. Dan lantas Apakah kemiskinan ini akibat kesalahan bangsa Indonesia yang bodoh? Dan apakah kita patut mempersalahkan Tuhan atas kemiskinan yang melanda masyarakat Indonesia? Berbagai pertanyaan ini merupakan pertanyaan-pertanyaan yang menjadi nilai subjektivitas ketika di paparkan oleh berbagai kalangan yang berkepentingan. Tapi yang patut untuk kita sadari bahwa hal ini berawal dari komitmen para penyelenggara negara terhadap kepentingan rakyat. Banyak oknum-oknum pemerintahan yang tidak mempunyai komitmen terhadap kepentingan masyarakat yang implikasinya adalah terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) atau bahkan tindakan-tindakan lainnya yang merugikan masyakarat.

Intinya manajemen negara yang bersih merupakan suatu modal dasar dalam penciptaan masyakarat yang sejahtera, ketika stakeholder dari pemerintahan mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap rakyat, yang selalu memperjuangkan aspirasi rakyat dan selalu memberikan palayanan terbaik untuk rakyat. Dilema yang terjadi di negara Indonesia adalah ketidakbersihannya pelaku-pelaku pemerintahan yang implikasinya membentuk suatu tatanan kekuasaan politik yang hanya mengedepankan ego atau kepentingan individu maupun kelompoknya bukan kesejahteraan rakyat. Sungguh sangat ironis ketika kita melihat para penguasa-penguasa politik yang terus menggerogori keuangan rakyat sedangkan rakyat sendiri terus menjerit karena kemiskinan yang dideritanya. Demokrasi yang samar-samar terus saja menjangkiti negara Indonesia. Rakyat yang notabene sebagai pelaku pemerintahan kini berubah peran menjadi objek “menderita” yang terus saja di setting oleh “pelayannya sendiri” yaitu notabene adalah aparatur pemerintahan itu sendiri.

Hal ini menjadi “PR” besar bagi kita semua sebagai masyakarakat, apakah kita akan terus saja menjadi “pion-pion catur” yang terus saja dikorbankan demi kesejahteraan rajanya? Ataukah kita akan terus berusaha untuk menjadi seorang raja di kerajaan kita sendiri?

Wallahu’alam Bisshawab.